Tolak Pemungutan Suara Berbasis Blockchain, Pakar MIT Sebut Tidak Aman

Pemungutan Suara Berbasis Blockchain

Share :

Wacana tentang sistem pemungutan suara dalam pemilihan umum di Amerika Serikat dengan menggunakan sistem teknologi blockchain tengah mengemuka. Salah satunya adalah munculnya aplikasi berbasis blockchain bernamam Voatz.

Voatz sendiri merupakan aplikasi pemungutan suara berbasis blockchain yang sudah lama rilis dan sempat digunakan oleh dua partai terbesar di Amerika Serikat, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik.

Kabarnya, Partai Demokrat dan Partai Republik menggunakan Voatz untuk memberikan suara dalam konvensi internal partai mereka masing-masing. Bahkan, dalam proses pemilihan umum presiden Amerika Serikat, negara bagian Utah sempat mengizinkan warganya untuk memberikan suara dengan menggunakan Voatz.

Padahal, berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh tim peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyebutkan bahwa ada kerentanan keamanan pada aplikasi pemungutan suara Voatz tersebut.

Oleh karena itu, pada Senin (16/11/2020), para peneliti di Laboratorium Ilmu Komputer dan Kecerdasan Buatan MIT menyampaikan bahwa teknologi pemungutan suara berbasis blockchain bukan cara yang tepat di masa depan.

Hal tersebut dikarenakan resiko peretasan cukup tinggi. Selain itu, tim keamanan siber dari Sunoo park yang beranggotakan Michael Specter, Neha Narula, dan Ronald L. Rivest juga menyebutkan bahwa pemungutan suara berbasis teknologi blockchain tidak lebih dapat diandalkan dibandingkan perangkat lunak independen dan pemungutan suara langsung.

Menurut salah satu tim peneliti, Ronald L. Rivest, sistem pemunguta suara berbasis blockchain ini mampu meningkatkan resiko kegagalan pemilu berskala nasional yang bahkan tidak terdeteksi karena kurangnya audit sistem.

“Sementara sistem pemilu saat ini jauh dari sempurna, blockchain akan sangat meningkatkan risiko kegagalan pemilu berskala nasional yang tidak terdeteksi,” kata Rivest, dikutip Kanalcoin.com dari Cointelegraph.

Tim peneliti MIT menyebutkan bahwa tidak seharusnya sistem pemungutan suaran untuk dibandingkan dengan sistem transaksi keuangan yang menggunakan teknologi blockchain sebagai basisnya. Hal itu dikarenakan keduanya sangat berbeda.

Ketika sebuah perusahaan keuangan atau transaksi keuangan mengalami peretasan, yang hilang adalah uang dan ada pihak yang bertanggung jawab. Biasanya, pihak perusahaan pengelola keuangan atau perusahaan kredit bisa mengganti dana yang hilang akibat peretasan tersebut.

Bahkan, bagi beberapa perusahaan yang mengelola mata uang kripto, mereka mampu membekukan token yang terkena peretasan sehingga mengurangi kerugian yang ada. Metode kompensasi dalam keuangan sangat mudah untuk diterapkan.

Akan tetapi, metode kompensasi tidak mungkin bisa digunakan dalam proses pemilihan umum atau pemungutan suara. Jika memang terjadi peretasan atau kecurangan dalam pemungutan berbasis blockchain, akan sangat sulit untuk melakukan kompensasi.

Pihak penyelenggara pasti harus melakukan pemilihan ulang yang itu juga masih berpeluang gagal lagi. Hal ini akan membuat proses pemungutan suara memiliki tingkat kegagalan yang tinggi dan tidak efisien untuk dilakukan di masa mendatang.

“Untuk pemilu tidak ada jaminan atau jalan lain untuk melawan kegagalan demokrasi. Tidak ada cara untuk membuat pemilih utuh kembali setelah pemilihan yang dikompromikan,” tulis laporan para peneliti MIT.

(*)

Redaksi Media
Author: Redaksi Media

Cryptocurrency Media

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments